Minggu, 14 September 2014

DIAM ITU EMAS


JANGAN PERNAH LIBATKAN EMOSI
SAAT MENGAMBIL KEPUTUSAN
Alkisah, ada seorang gadis muda yang sangat suka
menari. Dia merupakan penari terbaik di sebuah sanggar
tari. Dia bermimpi, dengan bakat yang dimilikinya saat
ini,
suatu hari nanti, dia ingin menjadi penari bertaraf
internasional. Dengan kemampuannya, dia bisa
melanglang buana ke Rusia, China, Inggris, Amerika
Serikat, Jepang, serta ditonton oleh ribuan penonton.
Suatu hari, kotanya dikunjungi seorang pakar tari yang
berasal dari luar negara. Pakar ini sangatlah hebat. Lewat
tangan dinginnya, telah banyak penari-penari kelas dunia
lahir. Gadis muda ini ingin sekali unjuk diri di depan sang
pakar tersebut, malah jika bisa, menjadi muridnya.
Akhirnya kesempatan itu datang juga. Si gadis muda
menemui sang pakar di belakang panggung.
Si gadis muda bertanya, “Tuan, saya ingin sekali menjadi
penari kelas dunia. Apakah tuan punya waktu untuk
menilai saya menari? Saya ingin tahu pendapat tuan
tentang tarian saya.” “Oke, menarilah di depan saya
selama 10 menit,” jawab sang pakar.
Belum lagi 10 menit berlalu, sang pakar berdiri dari kursi,
lalu pergi meninggalkan si gadis muda, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun. Sang gadis bengong.
Betapa hancur si gadis melihat sikap sang pakar. Dia
berlari keluar, mencari sang pakar. Nihil. Pulang ke
rumah, dia menangis sepuas-puasnya. Dia menjadi
benci terhadap dirinya sendiri. Ternyata tarian yang
selama ini dia bangga-banggakan tidak ada maknanya di
hadapan sang pakar. Kemudian dia ambil sepatu tarinya,
lalu dilemparkan ke dalam gudang.
Sejak saat itu, dia bersumpah tidak akan menari lagi.
Puluhan tahun berlalu. Sang gadis kini telah menjadi ibu
dengan tiga orang anak. Suaminya telah meninggal.
Untuk menghidupi keluarganya, dia bekerja menjadi
pelayan di sebuah kedai.
Suatu hari, ada sebuah pagelaran tari kolosal yang
diadakan di kota itu. Sebuah pertunjukan yang
mengundang pakar tari dari berbagai penjuru dunia. Tak
ketinggalan, sang pakar tari kembali hadir. Si ibu muda
dengan tiga anaknya juga datang ke pagelaran tari
tersebut. Dia tidak dapat melupakan masa lalunya. Dan
berharap dapat berjumpa dengan sang pakar kembali.
Selesai acara, ibu ini membawa ketiga anaknya ke
belakang panggung, mencari sang pakar. Sang pakar
masih mengenali ibu muda ini, dan kemudian mereka
bercerita secara akrab. Si ibu bertanya, “Tuan, ada satu
pertanyaan yang terpendam bertahun-tahun di hati saya
tentang penampilan saya sewaktu menari di hadapan
tuan.
Sebegitu buruknya-kah penampilan saya saat itu,
sehingga tuan terus pergi meninggalkan saya, tanpa
berkata sepatah kata pun?” “Oh ya, saya ingat peristiwa
itu. Terus terang, saya belum pernah melihat tarian
seindah yang kamu lakukan waktu itu. Saya rasa kamu
akan menjadi penari kelas dunia. Saya malah kaget
begitu mengetahui kamu tiba-tiba berhenti dari dunia
tari,” jawab sang pakar.
Si ibu muda sangat terkejut mendengar jawapan sang
pakar. “Ini tidak adil,” seru si ibu muda dalam hati. “Sikap
tuan telah mencuri semua impian saya. Kalau memang
tarian saya bagus, mengapa tuan meninggalkan saya
begitu saja ketika saya baru menari. Tuan seharusnya
memuji saya, dan bukan mengacuhkan saya begitu saja.
Jika tidak, pasti sekarang saya sudah menjadi penari
bertaraf dunia. Bukan hanya menjadi pelayan kedai.” ujar
ibu muda dengan gelegak kecewa yang mendalam.
“Tidak …. tidak, saya rasa telah berbuat yang sepatutnya.
Anda tidak semestinya minum anggur satu tong untuk
membuktikan anggur itu enak. Demikian juga saya. Saya
tidak harus menonton Anda 10 menit untuk
membuktikan tarian Anda bagus. Malam itu, saya sangat
lelah setelah pertunjukan pentas.
Maka saya tinggalkan Anda sejenak, untuk mengambil
kartu nama saya, dan berharap Anda mau menghubungi
saya lagi keesokan hari. Tapi Anda keburu pergi,” pakar
menjelaskan dengan runtut.
“Dan satu hal yang perlu Anda pahami, bahwa Anda
sepatutnya fokus pada impian Anda, bukan pada ucapan
atau tindakan saya.” “Dan pujian, kamu mengharapkan
pujian? Ah, waktu itu kamu sedang belajar.
Pujian itu seperti pedang bermata dua. Ada kalanya
memotivasi, namun bisa jadi melemahkanmu. Dan
faktanya, saya melihat bahwa sebagian besar pujian yang
diberikan pada saat seseorang sedang belajar, hanya
akan membuat dirinya puas dan pertumbuhannya
berhenti.
Lagipula, pujian itu seharusnya datang dari keinginan
saya sendiri. Anda tidak sewajarnya meminta pujian dari
orang lain.” “Anda lihat, ini sebenarnya hanyalah
masalah
remeh. Seandainya Anda pada waktu itu tidak
menghiraukan apa yang terjadi dan tetap menari,
mungkin hari ini Anda sudah menjadi penari kelas
dunia.” “Mungkin Anda sakit hati pada waktu itu, tapi
sakit hati Anda akan cepat hilang setelah Anda berlatih
kembali.
Tapi sakit hati karena penyesalan Anda hari ini, tidak
mungkin hilang selama-lamanya.”
Demikian kisah penuh hikmah tersebut. Bisa jadi, pencuri
impian sesungguhnya adalah diri kita sendiri, yang
mencap “tidak bisa” dalam alam bawah sadar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar